Jumat, 20 Juli 2007

Gurat Kahiji

Judul Buku : Islam Dan Transformasi Budaya
Penulis : Muhamad Dawam Rahardjo
Penerbit : Dhana Bhakti Primayasa, Bekerja sama dengan The Internsional Institute Of Islamic Thought Indonesia (IIIT) dan Lembaga Studi Agama Dan Filsafat (LSAF)
Tahun : 2002, Cetakan pertama
Tebal Hlm : 371 Hlm.
Reviewer : Naufal M Nuhal AH

Modernitas dan juga globalisasi senantiasa mengakibatkan perubahan-perubahan pada wajah waktu dengan progresif, ia seperti waktu yang melesat tak terkendali dan selalu menembus batas–batas apapun, yang menuntut tempat dan ruang yang disinggahinya untuk beradaptasi dan menerima kehadiranya secara utuh menyeluruh. Tak ada satu hal didunia ini yang bisa menolak kehadiranya. Melalui buku yang diberi judul Islam Dan Tranformasi Budaya ini Dawam Rahardjo begitu yang menjadi salah satu tokoh pembaharu Islam Indonesia ini, berusaha menelisik persoalan yang berkaitan dengan persoalan ijtihad dan kaitan persoalan tersebut dengan upaya pemberdayaan umat Islam agar tanggap dan siap dalam menghadapi perubahan sosial budaya yang disebabkan oleh arus modernisasi dan globalisasi. Walau tak semua topik-topik yang tersaji dalam buku ini merupakan tema-tema baru dalam diskursus Islam.
Disini Mas Dawam begitu sapaan akrabnya melalui pendekatan hermenetis, menyingkap makna–makna dan simbol-simbol guna bisa membedakan mana yang modern dan mana yang tidak (perennial). Kedua penggunaan analisis sosial sebagai upaya pencarian bentuk-bentuk modern dengan memahami dialektika sejarah.
Bertolak Dari Penafsiran Menuju Transformasi Sosial Budaya
Tawaran Dawam Rahardjo dalam buku ini lebih merupakan pencarian ideologis, terhadap permasalahan sosial dan budaya yang berkaitan dengan agama, bagaimana agama Islam dalam hal ini harus memberikan jawaban atas perubahan dan problem sosial. Berbagai permasalahan umat Islam saat ini seperti kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial, pendidikan dan lain-lain masih belum tersentuh dan digarap. Dalam hal ini Dawam Rahardjo mengangap perlu dilakukanya Ijtihad dan pembaruan penafsiran Al-qur’an, khususnya bertolak dari kaca mata ilmu sosial dan kebudayaan. Dawam menemukan vitalitas ijtihad dan metode penafsiran Al-qur’an untuk mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam kedalam kehidupan sosial, sebab dengan dilakukanya ijtihad dan pembaruan penafsiran Al-quran dengan analisa ilmu social budaya, maka kita akan senantiasa menemukan ide-ide baru yang terkandung didalam Al-qur’an.
Al-quran memang tidak pernah mengalami perubahan, meskipun masyarakat berubah. Timbul pertanyaan, bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah umat Islam tidak akan ketinggalan? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari cara umat Islam menafsirkan al-qur’an. Karena tantangan zaman menuntut adanya penafsiran baru, seiring dengan berubah dan berkembangnya pengetahuan manusia yang disimpan dalam berbagi jenis ilmu baik yang empiris ataupun spekulatif. Ini tidak terlepas dari permasalahan sepeti yang dicontohkan oleh Dawam Rahardjo dalam kata musyawarah yang sekarang tergambar adalah sebuah bentuk atau sistem demokrasi tertentu. Selanjutnya Dawam menganjurakan penggunaan metode tafsir Maudhui atau tematis karena dianggap memberikan perspektif baru dalam upaya penafsiran alquran, juga lebih dipengaruhi oleh ilmu-ilmu social budaya.
Hal diatas terkorelasi dengan persoalan-persoalan kekinian yang perlu diarumuskan kadalam sebuah semangat baru, yang bisa membebaskan Islam dari keterkungkungan jaman. Sehingga problematika modernitas dan juga globalisasi yang memberi masalah- baru yang tidak ditemukan pada masa silam.
Kemelut-kemelut baru mengenai konteks kekinian tidak semuanya kita bisa dapatkan jalan keluarnya (Problem Solving) dalam Al-qur’an ataupun hadis. Maka diperlukan adanya prorses ijtihad sebagai solusi atas hal ini. Untuk hal ijtihad Dawam Rahardjo berangkat dari penelisikanya atas perkembangan ilmu hukum dan syariat Islam yang telah berlangsung selama tiga setengah sampai empat abad setelah Hijriah, baginya merupakan hasil dari sistem nilai dan semangat yag terkandung didalam konsep ijtihad.
Al-qur’an sebagai kumpulan wahyu Ilahi tidak tersangsikan lagi kesahehannya, dan Sunnah yang merupakan penjelasan Rasulullah atas Al-qur’an yang bersifat umum, merupakan kedua hal yang tidak bisa dipisahkan lagi, karena Sunnah merupakan operasionalisai Al-qur’an pada zaman Nabi.
Walupun ayat Al-qur’an sudah jelas, namun tidak semua ayatnya dapat dipahami dan di kerjakan begitu saja, karena terdapat berbagai hambatan berkenaan dengan kondisi masyarakat itu sendiri. setidaknya ada tiga masalah yang dihadapai dalam menjadikan Al-qur’an sebagai ilmu positif, pertama didalam Al-qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat, yaitu jelas dan lugas maksudnya, tapi sebagian lain bersifat mutasyabihat, atau berupa ibarat, simbolik, atau abstrak yang dapat menimbulkan beberapa pengertian yang berbeda.
Kedua, , bahwa ayat Al-qur’an itu ada yang bersifat qhat’i atau atau absolut, dan sebagian lain berifat Dhanni atau relativ. Yang barangkali penentuan ayat mana yang qhat’i dan dhanni pun masih banyak diperdebatkan.
Ketiga, yang terutama menyangkut persolan hukum atau ilmu fiqih adalah, bahwa ayat-ayat yang menyangkut ilmu hukum itu tidak banyak jumlahnya. Maka bagi Dawam ketiga hal itulah yang memberi peluang bagi aktivitas ijtihad. Atau pemikiran yang serius.
Ada dua kecenderungan pemikiran mengenai makna dan maksud ijtihad itu. Pertama, ijtihad diartikan sebagi pemikiran yang bersifat otonom, dalam arti tidak perlu mengacu kepada Al-qur’an dan Sunnah mengenai hal-hal yang bersifat “duniawi”. Karena hal itu tidk bisa ditemukan referensinya yang jelas di Al-qur’an dan Sunnah. Karena berdasar pada asumsi bahwa Al-qur’an hanya mengatur soal-soal keagamaan, dan jika mengatur soal kemasyarakatan dan kenegaraan itupun sangat terbatas. Atau sudah tidak relevan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks.
Pandangan kedua melihat bahwa ijtihad bukanlah hanya menyangkut soal-soal “diluar Alqur’an dan Sunnah”. Memang ada hal yang tidak disebut secara langsung dalam Al-qur’an atau Sunnah. Oleh karena itu objek ijtihad juga, dari upaya ijtihad itu akan bisa dirumuskan dan diuraikan nilai-nilai moral atau etika yang bersifat mendasar dan bisa djadikan dasar dan bisa memecahkan masalah-masalah yang lebih khusus dn mendetail.
Karena dewasa ini kita bnyak melihat permasalahan-permasalahan yang sebenarnya harus menjadi objek ijtihad tapi ternyata tidak tersentuh oleh ilmu fiqih akhirnya pemasalahan tersebut harus menjadi tanggung jawab ilmu sosial dan ilmu alam seperti Biologi dan juga persoalan sosial ekonomi yang belum bisa terselesaikan seperti persoalan daging kurban yang menumpuk tiap tahun..
Meskipun berbagi masalah keseharian yang timbul secara rutin perlu dipecahkan dan dengan begitu dapat didapatkan pengalaman empiris, tetapi hal yang lebih diperlukan sekarang untuk perkembangan jangka panjang adalah bahwa paradigma lama sudah tidak mampu lagi memahami masalah-masalah sekarang yang begitu kompleks dan senantiasa berubah.
Bagi Dawam untuk melihat kemungkinan-kemungkinan pola ijtihad mendatang, perlu melihat dan mengamati beberapa perkembangan dan perubahan. Pertama, perkembangan ilmu-ilmu sosial, humaniora, alam, dan juga matematik.
Melihat kecenderungan itu, maka pengetahuan dan penghayatan agama dituntut untuk berintegrasi dengan cabang-cabang ilmu tersebut. Maka disini timbulah gagasan yang disebut segai “islamisai pengetahuan”.
Kedua, dewasa ini kita telah melihat perkembangan yang cukup nyata dalam penerjemahan dan interpretasi Al-qur’an maupun Sunnah. Disamping itu sekarang tengah berkembang pula tafsir Hadis atau Sunnah. Yang ikut membuka cakrawala dalam pemikiran segi-segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kegiatan ijtihad.
Hal ketiga yang perlu diperhatikan terbentuknya masyarakat ysng semakin majemuk, dan plural tidak saja dalam lingkup Islam dan non Islam tapi didalam Islam itu sendiri. Yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kultur. Sehingga membutuhkan pegangan yang jelas dan tegas dan mendambakan stabilitas.
Seiring konteks masa ini, maka Dawam mengharapkan adanya bentuk ijtihad yang ideal, yang dilakukan demi kemaslahatan bersama. Pertama, tidak bersifat, reaktif dan rutin, melainkan lebih proaktif dalm mengantisipasikan dan merencanakan masa depan. Kedua, ijtihd tidak hanya terjadi secara sektoral, melainkan multi-sektoral, tidak sja bercorak legalitas melainkan bersifat holistis. Ketiga, ijtihad jugatidak dilakukan secara individual namun kolektif. atau kerja sama antar disiplin. Keempat, disamping dilakukan oleh mujtahid besar, ijtihad juga dilakukan secara partisipatif, diman masyarakat diakibatkan dalam memecahkan persoalan. Kelima, ijtihad tidak hanya tertuju kepada masalah-masalah yang sifatnya lebih khusus, melainkan terhadap persoalan fundamental.

Pendidikan Dan Penguatan SDM Umat Islam
Ketakberdayaan umat Islam dewasa ini sebagaimana di masa lalu, khususnya di Indonesia, disinggung juga oleh Dawam Rahardjo, terutama tentang lembaga pendidikan Islam, khusunya perguruan tinginya, tumbuh pesat sejak tiga dasawarsa terakhir ini, namun kemajuan yang dicapai oleh kebanyakan perguruan tinggi Islam belum memuaskan. Menurut Dawam perguruan tinggi Islam dewasa ini sedang menunggu pencerahan dan mereka merasa tak berdaya untuk berkembang disebabkan kurangnya SDM, khususnya tenaga pengajar yang berkualitas. Melaui buku ini Dawam megajak kita memikirkan kembali konsep universitas Islam. Dengan mengutip gagasan Muhamad Natsir ditegaskan bahwa kita memang memerlukan universitas Islam yang tidak hanya memiliki sejumlah fakukltasyang mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti tafsir Al-quran, hadis, fiqih, dan tarikh tetapi juga memilki memiliki fakultas-fakultas filsafat, psikologi, ekonomi, ilimu-ilmu sosial politik, sastra seni rupa dan desain, arsitektur, kedoktern, farmasi, fisika ilmu pertanian, tekhnologi industri dan lain-lain.
Namun keprihatinan kita ialah karena perguruan tinggi islam selama ini hanya mencangkok ilmu yang ditimba mentah-mentah dari perkembangan dibarat. Dengan kata lain pra sarjana muslim baru bisa menjadi konsumen dan penerus keilmuan yang terjadi dibarat. Tidak mampu mengenbangakan metode dan teori sendiri yang orisinal serta merambah penemuan baru di berbagai cabang disiplin ilmu. Selain perlu meningkatkan SDM khususnya pengajar yang berkualitas, serta meningkatkan mutu dan materi pengajaranya. Universitas-universitas Islam di Indonesia perlu juga memikirkan bagaimana meng-Islamkan ilmu-ilmu dari luar tradisi intelektual Islam sehingga ilmu tersebut berkesuaian dengan nilai-nilai dan cita-cita Islam, tetapi juga menjadi akrab dengan jiwa dan semangat orang Islam. Apabila ilmu-ilmu itu itu telah mengalami proses Islam dapat menjadi pelaku aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dawam menekankan perlu adanya komponen yang dipertimbangkan dalam upaya peningkatan SDM yang pada dasarnya merupakan pengembangan etos Amal shaleh. Yang kemudian akan menjadi etos kerja, etos lngkungan hidup, etos perdamaian, etos ilmu pengetahuan, dan etos kewarganegaraan. yang kemudian etos-etos tadi perlu disitematisir dan disusun menjadi silabus dan pengumpulan materi pembelajaran dengan judul-judul yang berkaitan dengan etos tersebut.
Etos kerja diperlukan karena selama ini dikesankan bahwa umat Islam itu mengajarkan fatalisme yang menghambat ekonomi dan bisnis. Padahal etos kerja dalam pandanga Islam menyadarkan bahwa Islam itu mengajarkan “demokrasi ekonomi” dimana setiap individu memiliki akses langsung kepada Allah yang tanpa batas itu lewat kerja. Etos kerja menurut Islam mengajarkan pula tanggung jawab sosial, karena kerja individu tidak mungkin. Islam lebih mengajarkan prinsip ”Contributors Interst” terhadap proses kerja, dari pada prinsip “selfish-individual interest”.
Etos lingkungan hidup bertujuan mengimbangi etos kerja, agar pengembangan tekhnologi yang dilakuka oleh manusia Indonesia mengarah kepada pembudayaan alam dengan sikap yang ramah.
Etos kewarganegaraan dimaksudkan untuk menyadarkan stiap muslim kewajibanya terhadap hak dan dan kewajibanya terhadap masyarakat dan Negara, pengajaran eto-etos kewarganegaraan ini bisa dilakukan dengan menafsirkan sila-sila Pancasila yang berdasarkan ajaran Islam, dalm pengertian, bahwa pancasila itu merupakan manifestasi ajaran Islam dalam konteks Indonesia.
Terakhir etos ilmu pengetahuan juga perlu diajarakan karena iptek merupakan sarana pendorong kemajuan bangsa. Tak hanya pengembangan iptek itu sendiri, namun juga bagaiman cara mengendalikanya.


Puasa Dan Transformasi Budaya
Puasa merupakan gejala universal yang dapat kita temui di berbagai kebudayan baik kuno maupun modern, berpuasa tidak selalu aktivitas religius semata, pda zaman modern ini, banyak dijumpai berbagai jenis puasa yang berkaitan dengan tindakan non religius, misalnya sebagai upaya memelihara kesehatan, protes yang bersifat politik, bahkan masih merupakan cara olah rohani. Pada zaman dahulu, pada umunya berkaitan dengan agama atau kebudayaan rohani. Walupun hingga saat ini belum terdengar claim dalam bentuk ceramah, seminar, atau tulisan-tulisan di antara para mubalig, ulama atau cendikiawan uslim, bhwa puasa sdalah bentuk peribadatan monopoli atau khas islam, dalm arti, tidak tedapat pada agama-agama lain. Namun memang terdapat persepsi kuat bahwa dewasa ini, hanya umat Islam saja, diantara umat beragama yang masih menjalankan ritual puasa sebagai perintah agama, anjuran, dan tardisi keagamaan. Kata kunci dalm pengertian tentang puasa adalah taqwa. Dengan puasa, seseorang memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi seorang yang bertaqwa (mutttaqin). Wujud puasa yang pokok adalah tindakan untuk tidak makan, minum, dan melakukan hubungan sekspada waktu siang hari selama sekira-kira 14 jam, sejak dari subuh hingga maghrib. Selain itu puasa, adalah tindakan menahan diri (restraint)
Selanjutnya Dawam mengatakan bahwa puasa memerlukan perhitungan karena puasa itu bisa dimaknai sebagai proyek, baik proyek pribadi maupun proyek koloktif. Yang di sesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang ingin di pecahkan, seperti halnya kita membutuhkan sumber daya modal yang besar untuk memberantas kemiskinan, dan kita mengharapkan bisa menghimpun dana zakat, infaq atau shadaqa, maka proyek kita adalah menimbulkan solidaritas dan tanggung jawab sosial..
Nilai-nilai yang ingin dikembangkan oleh puasa, yang bepokok pada Al-khair (keutamaan), dengan menciptakan yang baik dan mencegah yang jelek dan jahat dapat di transformasikan menjadi nilai-nilai kepribadian mampu mengendalikan hasrat jasmaniah yang tak perlu dimatikan bisa menimbulakn anarki dan destruksi. Kepribadian itu adalah kepribadian yang berkualitas taqwa.

Islam Menyoal Perempuan
Dia zaman modern ini gender atau relasi lelaki perempuan merupakan tantangan besar bagi agama-agama. Sebab, hampir semua agama, khususnya abrahamik (yahudi, Kristen, Islam) dinilai sebagi laki-laki. Padahal, lelaki perempuan itu berpasangan, tak bisa dipisahkan baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia walaupun keduanya sejajar.
Walaupun banyak keterangan dalam al-qur’an bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki, namun dalam kenyataaan yang terdapat dalam masyarakat, dan komunitas muslim, kedudukan perempuan itu beberapa derajat dibawah laki-laki. Sekalipun dewasa ini, dalam Negara modern khusunya Indonesia, laki-laki memilki hak dan kewajiban yang sama, namun dalam prakteknya masih terdapat banyak diskriminasi. Contoh jelas adalah dibidang pengupahan. Perbedaan anatara laki-laki dan perempua ini memang merupakan kenyataan. Tetapi perbedaan itu tidak mempengaruhi kedudukan yang sama dalam hubungan gender.
Selanjutnya Dawam berlanjut kepersoalan feminisme, ia sangat khawatir melihat persoalan feminisme, karena feminisme lebih banyak di salah fahami ketimbang dipelajari secara proporsional. Dawam mencoba menjelaskan feminisme, walaupun kiranya dia agak kesulitan dalam menjelaskan pengertian feminisme dalam pandangan Islam, karena pandangan Islam atas hal ini tidak semuanya sama. Jika boleh kita katakan bahwa ada feminisme dalm Islam pemikiran itu bisa pula mengikuti atau mengambil berbagai unsur feminisme itu. Tapi orang bisa menyebutnya feminisme Islam. Dawam berturtur lanjut bahwa gerakan pemakaian jilbab bisa pula merupakan semangat faham feminis. Karena jika kita mencoba melihat kepada sejarahnya asal-usul pemakaian jilbab merupakan pembedaan perempuan yang merdeka dan berstatus budak. Maka jika perempuan itu ingin dihargai dan dihormati maka mereka (perempuan) memakai jilabab jika tidak maka mereka masih berstatus budak dan mudah diganggu laki-laki kurang ajar.
Jilbab bisa sebenarnya merupakan atau dapat dipakai sebagai simbol melawan patriarki. Disitu perempuan memberontak terhadap anggpan bahwa perempuan iti adalah obyek seksual. Namun ini tidak bisa di over generalisr bahwa jilabab mewakili seluruh gejala feminisme Islam.. karena sebagian feminis Muslim Menganggap bawa jilbab adalah symbol subordinasi perempuan terhadap laki-laki alm tatanan social.
Dewasda ini feminisme yang berkembang dikalangan Islam itu dikategorikan sebagi feminis akademis. Feminisme ini didukung oleh kalangan cendikiawan, perempuan atau pun laki-laki. Di indonesia masih belum ada tokoh yang bisa dijadikan acuan karena mereka mengacu kepada karya Rifat Hasan, Fatimah Mernisi, Amina Wadud dan lain-lain.

Islam Di Indonesia: Transformasi Dan Interpretasi Menuju Keniscayaan
Mengapa Dawam begitu percaya bahwa perlu adanya semangat Islam yang baru, dalm menyikapi konteks kekinian, ketika zaman terus berkembang maka diam berati mati dan berlaripun tak akan pernah bisa menepi, saat masyarakat selalu menjadi begitu plural serta kompleks, lantas kita mesti mengamini segala tekanan modernitas yang berjubah berkembang pesatnya tekhnologi serta bergesernya tatanan hidup manusia tanpa persiapan apapun. Lalu diman posisi umat isalm saat ini apakah isam sebagai agama yang rahmatan lilalamin bisa bermesraan dengan tantangan modernitas serta globalisasi, atau mungkin Al-qur’an dan Sunnah tidak cukup untuk dijadikan referensi permasalahan-permasalahan yang selalu aktual?
Maka Dawam berusaha memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut. Dengan mencoba memadukan tafsir dengan pisau analissis barat yang cenderung di tabukan oleh kalangan ulama yang selama ini senderung fiqih oriented dengan mengesampingkan berbagai pendekatan lain seperti ilmu-ilmu sosial, humaniora maupun alam, karena biasanya sentimen sinis terhadap ilmu tersebut begitu keras dengan megatakanya sekuler atau hasil dari barat. Timbul permasalahan yang bersangkutan dengan noramtivitas etik islam yang menganjurakn nilai-nilai kemodernan, sementara itu bertolak belakang dengan relitas dimana umatnya sangatlah terbelakang. Persoalan ini bisa dijawab dengan megajukan pertanyaan terlebih dahulu, apakah nilai-nilai kemodrenan yang terdapat pada ajaran Islam telah dirumuskan menjadi ”model untuk realitas” (model of reality) , meminjam istilah C. geertz? Jika sudah, maka nilai-nilai itu akan bekerja sebagai sistem syimbol atau sitem budaya yang operasional bekerja dalam dan mempengaruhi sikap perilaku umat Islam melaui sistem berfikir. Sebagi contoh sistem simbol ilmiah dan bahasa keagamaan, akan bisa mempengaruhi sistem pendidikan.
Dawam menggambarkan bahwa ada dua faktor yang yang sebenarnya mentansformasikan nilai-nilai budaya kita, adalah kekuatan ekonomi dan kekuatan pasar. Proses perubahan struktur ekonomi dan mobilitas sosial juga terjadi pada umat Islam Indonesia, krena umat Islam merupakan mayoritas dalam mayrakat di Indonesia. Karena itu transformasi nilai-nilai budaya yang terjadi dalam masyarakat kita dan masyarakat negara-negara berkembang umunya juga terjadi pada umat Islam.
Ada dua sebab utama mengapa nilai-nilai baru itu dengan relatif mudah masuk kedalam tubuh umat Islam. Pertama adalah karena kesadaran bahwa umat Islam di masa lalu itu “kalah” (misalnya terjajah), karena ketertinggalan dalam perkembagan budaya tekno ekonomi.karena itu maka untuk bisa mengejar ketertinggalan (dan terlepas dari penrjajahan) maka umat Isalm harus Islam harus bisa meraih kemajuan dibidang ekonomi dan iptek. Kedua, karena nilai-nilai budaya Islam itu sendiri bersifat kondusif terhadap perkembangan techno-ekonomi. Dan terkhir perlu dikatakan bahwa tulisan Dawam dalam buku ini adalah perhatianya atas rasail atau diskursus tentang Masyarakt Madani (civil society). Yang dianggap sebagai bentuk masyarakat paling ideal untuk Negara kita Indonesia. Salam.

[1] Reviewer adalah Mahasiswa Sosiologi Fak Ushuluddin.

Tidak ada komentar: